Kitorang Tidak Merebus Batu

Kitorang Tidak Merebus Batu

 “Kami ingin membuka suatu dialog yang bermartabat dengan pemerintah Indonesia, suatu dialog antara dua orang bermartabat, dan bermartabat berarti kami tidak pakai cara-cara kekerasan.”

Filep Karma[i]

I

Awal November 2012, beberapa kali ponsel saya bergetar. Sejumlah terusan pesan pendek “tak bertuan” itu membuat saya gemetar. Salah satunya berbunyi, “Anak Papua kalau memang ingin merdeka, akan kami sayat.”

Menyusul kemudian, “Kpd org2 Papua di masing2 Asrama di Yogya. Menjelang peringatan 1 Desember 2011, akan ada penggeledahan, penggrebekan, penyiksaan dan penangkapan masal di semua asrama Papua.”

Ada pula sms pemberitahuan mengenai pengibaran bendera Bintang Fajar-Bintang Kejora di seluruh pelosok Papua pada 1 Desember 2011. Di Lapangan Teselowai, pengibaran akan dilakukan secara massal. Deklarasi kemerdekaan akan dikukuhkan kembali. Akan terjadi pertumpahan darah. Mulai 26 November transportasi darat, udara dan laut akan dilumpuhkan. Putra-Putri Papua diseru untuk menyelamatkan nyawa karena penyisiran akan dilakukan di mana-mana.

Saya menanyakan asal-usul sms-sms ini pada sejumlah teman Mahasiswa Papua di Yogyakarta. Mereka belum bisa memastikan dari mana sms-sms gelap itu berasal. Jauh-jauh hari, para pegiat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Yogyakarta kerap berbagi cerita ihwal ancaman, teror, dan intimidasi yang sering terjadi, terutama melalui sms. Kegiatan mereka juga kerap dibuntuti dan diintai orang-orang tak dikenal. Saya membatin, sms-sms gelap menjelang 1 Desember itu akan dengan mudah menyebar kepanikan dan, karenanya, memperburuk keadaan. Wacana Papua-Indonesia kian keruh.

Papua punya sejarah yang panjang. Ia sangat luas secara kewilayahan, begitu beragam secara kebudayaan, dan sangat melimpah dalam hal sumber daya alam. Mengenali Papua dengan mengandalkan stereotip tidak hanya menyederhanakan masalah, tapi juga memperkeruh suasana.

Ini yang terjadi pada 3 Mei 2010. Mahasiswa yang juga bobotoh Persib Bandung itu bernama Dzulkiflry Imadul Bilad. Ia kesal karena Persib tak bisa mengalahkan Persipura Port Numbay.  Melalui status Facebook ia berolok-olok, “Dasar orang Papua, bisanya tarkam, pake otot bukan pake otak maen bolanya, ga sekolah, bodo2 semua, udah item idup lai. Sialan lu Papua!”

Status Bilad itu tersebar dan berbuntut panjang. Sehari kemudian, muncul ratusan kecaman padanya. Bilad pun meminta maaf. Namun, dua minggu berselang, Ikatan Mahasiswa Papua Bandung menggelar aksi protes di depan gedung ITB. Sekitar 100 mahasiswa Papua itu meminta ITB memberhentikan Bilad. Dalam aksi itu, sejumlah poster menyebar pesan yang sangat tegas. Antara lain, Rasisme Terhadap Orang Papua = Melanggar HAM orang Papua; Tidak Ada Perbedaan Diantara Kita, Kita Satu RI; Selama Anak-Anak Kandung Pertiwi Masih Rasis, Selama Itu Pula Bumi Pertiwi Indonesia Berjalan di Tempat”.[ii]

Saya tidak bermaksud memojokkan Bilad. Faktanya, ia tidak sendirian. Ia hanya satu dari sekian banyak manusia yang memandang rendah papua. Jika kita memeriksa sejumlah diskusi di forum-forum internet, banyak diskusi masih menempatkan Papua dan orang Papua dengan stereotip yang menyesatkan. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan Jawa, saya mesti mengakui bahwa banyak orang masih merayakan pandangan atas Papua secara rasialis. Seolah orang-orang Papua bukan manusia seutuhnya. Bagi sebagian orang, Rasialisme ini justru menjadi pembenar atas superioritas Jawa lebih di atas Papua.

 

II

Kerajaan Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Hanya saja, Papua masih dalam kendali administrasi Kerajaan Belanda. Sekelompok elit Papua sedang dipersiapkan untuk bisa menyusun kedaulatan orang-orang Papua sendiri. Kerajaan Belanda bakal mengakui kedaulatan Papua pada tahun 1970. Ternyata tak perlu waktu lama. Pada 1 Desember 1961, Papua Raad, lembaga yang didanai Kerajaan Belanda, menyatakan Papua sudah siap berdiri sendiri sebagai sebuah negara berdaulat. Bendera nasional baru telah siap dikibarkan: Bintang Kejora.[iii]

Di Yogyakarta, kabar itu membuat Presiden Soekarno berang. Bung Karno bersikeras dengan pendirian bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Ia menyebar pesan politik bahwa Kerajaan Belanda hendak menjadikan papua sebagai negara boneka. 19 Desember 1961, Soekarno menitahkan penyerbuan Papua. Awal 1962, pasukan Indonesia mulai menyusup ke Papua. Menurut cerita Andreas Harsono, ini menciptakan gelombang pengungsi ke Papua New Guinea. Tak lama berselang, Pemerintah Amerika Serikat ikut campur tangan. Singkat cerita, setelah bernegosiasi, Indonesia dan Belanda bermufakat menggelar referendum di bawah otoritas PBB melalui Untea (United Nation Temporary Excecutive Authority). Referendum yang berlangsung 14 Juli-2 Agustus 1969  itu dikenal dengan sebutan Pepera, Penentuan Pendapat Rakyat.

Bagi orang Papua yang hingga kini masih kukuh memperjuangkan kedaulatan Papua, Pepera tak lain ialah hasil rekayasa antara Amerika Serikat dan Indonesia. Pepera hanya melibatkan 1025 pemilih dari delapan kota: Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Biak dan Port Numbay. 1025 orang ini dikumpulkan, ditentukan, dan diatur oleh pemerintah Indonesia melalui kekuatan militer. Alhasil, 100 persen memilih Indonesia. Pepera menjadi jalan mulus agenda nasionalisasi Sabang sampai Merauke.

16 Agustus 1969, Presiden Soeharto, dalam pidatonya di depan sidang MPR, menjanjikan otonomi untuk Papua. “Saat ini, dengan selesainya Pepera,” kata Soeharto, “kita semua telah menunjukkan kepada dunia bahwa seluruh rakyat Indonesia yang berdiam di wilayah-wilayah dari Sabang sampai Merauke, merupakan suatu keluarga bangsa yang tak dapat dipisahkan lagi, Bangsa Indonesia. Tetapi Pepera bukan tujuan akhir kita .… Masalah yang paling penting adalah pembangunan daerah Irian Barat secara serentak … Irian Barat pun segera akan menerima kedudukannya sebagai Daerah Tingkat I dengan otonomi yang riil dan luas.”[iv]

Namun, kenyataan dan fakta berbicara lain. Alih-alih mempercepat pemerataan pembangunan dan penyediaan otonomi di papua, sejarah Orde Baru di Papua lebih banyak diisi dengan sejarah kekerasan. Semua protes dijawab dengan represi militer. Termasuk pula represi terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1970-an. Kekerasan terhadap rakyat Papua ini mengandung dimensi yang sangat luas dan kompleks.

Pada masa Reformasi, lahir UU No. 21/2001 tentang otonomi khusus. UU ini lahir sebagai hasil dari pertarungan politik dalam Dialog Nasional 1999. Melalui sebuah tim yang bernama Tim 100, tuntutan kemerdekaan Papua disampaikan pada Presiden B.J. Habibie. Mereka meminta referendum. Habibie menolak dan, sebagai gantinya, Habibie menjanjikan Otonomi Khusus untuk Papua—janji yang serupa dengan janji Soeharto tiga puluh tahun sebelumnya. UU ini pada akhirnya terbit pada masa pemerintahan Presiden Megawati.

Dalam pelaksanaan, Otonomi Khusus menemui banyak ganjalan. Banyak kasus terkait penyalahgunaan dana, keanggotaan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dianggap kurang representatif, kekerasan yang masih terus berlangsung, kriminalisasi aktivis-aktivis pro-kemerdekaan Papua, problem antara pendatang -penduduk asli Papua, dan, belakangan, pemekaran daerah yang tergesa-gesa.

Riset yang dilakukan Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan ada empat isu yang menjadi sumber konflik berkepanjangan selama ini. Empat isu itu ialah: (1) Sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI, status politik dan identitas politik orang Papua, (2) kekerasan politik dan pelanggaran HAM, (3) kegagalan pembangunan di Papua, (4) inkonesistensi kebijakan Otonomi Khusus dan marjinalisasi orang asli Papua.[v]

Secara skematik, temuan Tim Lipi tersebut tergambar dalam tabel berikut.

Tanpa mengesampingkan kompleksitas permasalahan, saya sepakat dengan pandangan yang menyatakan bahwa semua masalah di Papua menandakan masalah besar: kegagalan dialog. Sebagaimana telah diurai secara singkat di atas, kegagalan dialog merupakan sesuatu yang sangat tipikal dalam detail-detail permasalahan antara Papua dan Indonesia.

Tahun 2008, Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua M. Thaha Alhamid menyebut frasa “merebus batu”. Frasa ini dipakai di berbagai forum di Jakarta untuk menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat Papua pada kesungguhan Pemerintah Pusat untuk mengupayakan dialog antara Jakarta dan Papua. Di satu sisi, frasa ini memang menyuarakan nada pesimis, tapi di sisi lain juga merupakan tantangan bagi pihak-pihak yang ingin memutus siklus konflik Papua.

Pandangan ihwal kegagalan dialog ini pula yang secara kuat diyakini Bambang Darmono. Seperti diketahui bersama, ia ditunjuk Presiden untuk mengepalai Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UPK4B). 27 November 2011, bersama sembilan belas mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, dengan fasilitasi Tempo Institute, saya berkesempatan berdialog dengan Purnawirawan yang banyak dipuji atas reputasinya saat menjadi wakil Indonesia dalam Aceh Monitoring Mission (AMM). Sejumlah pihak menjulukinya Jenderal Bersenjata Kata.

“Julukan itu agak berlebihan,” katanya, “namun saya memang percaya pada kekuatan dialog, bukan senjata! Itu yang saya lakukan di Aceh.” Ia memasang target. Tahun 2014 nanti, ketika masa tugasnya berakhir, ia harus mampu meletakkan landasan kuat bagi keberlanjutan pembangunan untuk mencapai otonomi khusus. Ia menjanjikan dua pendekatan yang akan mewarnai kerjanya dalam bertugas. Pertama ialah pendekatan sosial ekonomi dengan meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan publik  di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, penanggulangan kemiskinan, dan infrastruktur dasar. Kedua adalah, “Pendekatan sosial politik dan budaya dengan membangun komunikasi konstruktif antara pemerintah dan masyarakat Papua dalam semua hal.”

Terus terang, dialog dengan Bambang Darmono malam itu cukup berkesan dan melegakan. Tapi kelegaan itu tak berlangsung lama. Sehari berselang,  tersiar kabar kematian Charlie Wilson Takimai, mahasiswa BSI Jakarta. Teman-teman dekat Wilson menganggap kematiannya tak wajar. Jenazahnya dipindahkan dari  Rumah Sakit Tebet ke Rumah Sakit St. Carolus tanpa diotopsi lebih dulu. Sebelum meninggal, bersama teman-temannya, Wilson Sempat mengadu ke Komnas HAM perihal penggerebekan di rumah yang ia tinggali bersama kawan-kawannya di tebet. Penggerebekan yang terjadi pada 11 November 2011 itu diduga dilakukan oleh oknum aparat . [vi]

III

Penelitian panjang yang dilakukan Tim LIPI membuahkan empat poin rekomendasi yang disebut dengan Papua Road Map: rekognisi, paradigma baru pembangunan, dialog, dan rekonsiliasi serta pengadilan HAM . Roadmap ini tak bisa dilakukan dengan jalan pintas dan mesti melibatkan banyak pihak. Kata kunci yang penting dalam mewujudkan rekomendasi dari Papua Roadmap adalah keterlibatan semua pihak.

Salah satu asumsi yang selama ini salah kaprah adalah peletakan aktor elitis sebagai kelompok yang sanggup menentukan segala-galanya. Aktor elitis itu bisa saja birokrat di Jakarta, kelompok militer, maupun kelompok elit Papua sendiri. Keterlibatan masa akar rumput, yakni penduduk Papua sendiri menjadi amat penting. Merekalah orang-orang yang paling berhak berbicara soal Papua lantaran mereka pula yang mengalami keseharian dan kenyataan hidup di Papua.

Di sinilah falsafah klasik “lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan” menemukan relevansinya. Dan itulah yang dilakukan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAME). SKP-KAME menginisiasi sebuah program bertajuk SORAK, kepanjangan dari Suara Orang Kampung. Menurut Pelaksana Tugas Harry Woersok, nama Sorak sekaligus juga berarti ‘berseru’ atau ‘berteriak’. SORAK ialah satu media bagi para warga kampung di wilayah selatan Papua (Merauke, Mappi, dan Boven Digul) untuk mewartakan kehidupan sehari-hari mereka. “termasuk masalah-masalah, pengharapan-pengharapan, juga  ‘pandangan dunia’ mereka.”

Salah satu gagasan dasar yang melatari SORAK ialah fakta bahwa suara warga jelata sering dinafikan di media pemberitaan arus utama. Dalam Sorak, informasi yang dilaporkan berasal dari para warga sendiri, yang kebanyakan tinggal di kampung-kampung. Para pewarta warga (citizen reporters) itu mengirimkan laporan lewat kurir, pos biasa, dan memanfaatkan teknologi layanan pesan singkat (SMS) melalui telepon genggam. Sorak ingin menjadi bagian dari sistem pemantauan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB) warga Papua di bagian selatan.

Dari ratusan informasi yang masuk setiap bulan, Tim SKP-KAME mengelolannya dalam suatu sistem pangkalan data. SKP-KAME kemudian mengolah informasi yang masuk melalui penerbitan buletin SORAK 12 halaman dan publikasi melalui blogsite internet (http://blog.insist.or.id/sorak ). Jika buletin diperuntukkan untuk warga lokal, publikasi internet ditujukan untuk publik di luar Papua. Blogsite SORAK ini bisa dibaca dalam dua bahasa, yakni Indonesia dan Inggris.

Dalam dua penerbitan cetak perdananya (No.1, Agustus 2011 dan No.2, September 2011), SKP-KAME menerima tak kurang dari 53 laporan berita dan 30 komentar dari 18 kampung yang tersebar di 10 distrik. Artinya, ini merupakan satu pertanda baik bahwa banyak warga kampung di wilayah papua Selatan cukup bersemangat menyampaikan berbagai persoalan keseharian hidup yang mereka hadapi. 

Bagaimana dengan cakupan isu yang dilaporkan warga? Tiga isu teratas yang dilaporkan warga adalah: 33,9 % melaporkan soal pelayanan umum, 30,1% soal mata pencaharian 18,8 % soal fasilitas atau prasarana. Dari tiga isu teratas ini, kita tahu bahwa kewajiban negara dalam memenuhi hak dasar masyarakat merupakan perhatian utama penduduk. Isu yang belum banyak dilaporkan warga adalah yang berkaitan dengan pangan, kesehatan, perumahan, dan keagamaan (masing-masing sekitar 3.0%). Isu energi sama sekali belum ada laporan. Gambarannya bisa dilihat dalam grafik. 

Yang menarik, latar belakang para pewarta warga ini juga beragam. Sebagian besar (65,4%) adalah warga biasa (petani, nelayan, pedagang kecil, dan ibu rumah tangga). Disusul kemudian adalah petugas resmi gereja (sebanyak 19,2%), selanjutnya adalah pegawai negeri (guru sekolah dan aparat pemerintahan kampung, sebanyak 15,4%). Hanya saja, dari segi gender, masih ada tantangan yang perlu dijawab. Pewarta warga SORAK masih didominasi kaum laki-laki (78,9%). Baru  26,1% saja pewarta warga yang berjenis kelamin perempuan. Pendek kata, angka-angka ini bagaimanapun menandakan sesuatu yang sangat bermakna bagi apa yang disebut “keterlibatan”.

Tim SKP-KAME secara rutin mendatangi kampung-kampung di Merauke, Mappi, dan Boven Digul untuk menyebar kesadaran pentingnya jurnalisme warga. Warta yang dilaporkan berformat sangat sederhana, namun mengena. Salah satu contoh adalah laporan dari Alexius Gebze, Warga Dusun Yatom, Distrik Semangga, Merauke.

Gebze melaporkan, “Harga pasir di Kampung Waninggap Nanggo 1 ret Rp 150.000 s/d 200.000. Kami mau, harga pasir ini coba 1 ret Rp 500.000 kah? Kami sudah pernah bicara dengan Kepala Distrik, Kepala Kampung, dan pengusaha pasir untuk harga ini, tapi tidak ada kesepakatan. Kami juga mau ini ditetapkan dalam Peraturan Kampung, tapi sampai sekarang Peraturan Kampung itu juga belum dibuat. Kalau seperti ini kami rasa rugi.”

Laporan lain dari Nikolaus Renggam. Ia adalah  Kaur Pemerintahan di Kampung Selil, Distrik Ulilin, Merauke. Dalam laporannya tertanggal 7 Desember 2011, ia melaporkan, “Kami biasa terima RASKIN setiap 3 bulan sekali, tapi dalam tahun 2011 sampai bulan Desember ini, RASKIN belum pernah sampai ke kampung kami. Padahal, sebelumnya RASKIN selalu sampai di kampung. Saya tidak mengerti apa penyebabnya sehingga RASKIN tidak sampai ke kampung?

Membaca satu persatu laporan warga tersebut, saya sangat yakin bahwa pemanfaatan teknologi komunikasi yang tepat dan mudah bisa menjadi katalisator dialog yang konstruktif. Suara-suara yang tampil dalam SORAK adalah suara dari kenyataan dan keseharian. Dalam politik dan demokrasi, itulah yang disebut aspirasi.

Ikhitiar SKP-KAME dan warga di  Merauke, Mappi, dan Boven Digul itu menggemakan pesan berharga. Dialog yang konstruktif bisa diakselerasi mulai dari bawah, dari suara orang-orang kampung, dengan memanfaatkan ketersediaan teknologi, betapapun masih terbatas. Begitu banyak laporan dari pewarta warga di Sorak itu menunjukkan bahwa warga Papua memang merindukan komunikasi yang sehat. “Kitorang tidak merebus batu, to.”


[i] Adreas Harsono, Belajar dari Filep Karma, diakses http://www.andreasharsono.net/2010/11/belajar-dari-filep-karma.html pada 1 Desember 2011

[ii] ibid

[iii] ibid

[iv] ibid

[v] Muridan S. Widjojo (ed.), Papua Road Map, Jakarta: Obor.  209, hlm 6-7

[vi] Mengenai kematian Carly yang tak wajar, Reporter KBR68H Bambang Hari menurunkan laporan kronologisnya. Lebih lanjut lihat pada http://www.kbr68h.com/saga/77-saga/16417-mahasiswa-papua-diburu

2 komentar di “Kitorang Tidak Merebus Batu

  1. Ping balik: Cipta Media Seluler – Pesan Singkat dari Ujung Timur

  2. Banyak orang berbicara tentang kepedulian akan rakyat kecil,namun banyak pula yang membuat air mata rakyat kecil tak henti berderai karena dianggap tidak bernilai. Sorak SKP KAME telah menjadi contoh bahwa air mata rakyat kecil begitu berharga. Semoga kelak air mata kan berganti dengan sukacita karena warta sorak yang tak henti menyuarakan nurani rakyat kecil. Untuk sorak BE STRUGLE…………

Tinggalkan komentar